Hidup indah dengan syariah...Hidup kokoh dengan khilafah...masalah terarah dengan Islam kaafah..

Hidup indah dengan syariah...ukhuwwah kokoh dengan khilafah...masalah terarah dengan Islam Kaafah...

15/01/11

Kisah Sejarah” dalam Al-Qur’an


PERBEDAAN interpretasi dalam memaknai konteks ayat al-Qur’an merupakan bagian dari naluri kemanusiaan. Dalam segala hal, perbedaan jangan dianggap sebagai penghalang, yang memisahkan semangat manusiawi dengan ...kemampuan-kemampuan yang diberikan Allah untuk mengetahui kebenaran wahyu sepanjang ia berada di dalamnya.
Selama ini, para penafsir sering melakukan pengkajian kisah sejarah dalam al-Qur’an dianggap benar (pernah) terjadi. Padahal, sejarah bukanlah semata-mata tujuan utama al-Qur’an. Begitu pula dengan sebagian penafsir, interpretasi tentang kisah dalam al-Qur’an lebih terjebak pada pendekatan historis seperti halnya membaca teks-teks kitab sejarah.
Menurut Khalafullah, seorang Sarjana Doktoral Mesir di bidang Sastra Arab yang melakukan penelitian berjudul “al-Fann al-Qashashi fi al-Qur’an al-Karim, dengan pendekatan metodologi sastra dalam melihat kisah-kisah dalam al-Qur’an. Untuk menjelaskan nilai-nilai kisah dalam al-Qur’an sangat membutuhkan interpretasi dan metodologi sartra. Dalam tradisi barat, sastra adalah sebuah karya dan warisan sejarah memiliki kemampuan dalam mengekspresikan sisi logika, psikologis, dan seni dalam sebuah teks. Melalui pendekatan metodologis sastra semacam ini akan banyak terungkap dimensi seni dan sastra yang dimiliki al-Qur’an sebagai salah satu kemukjizatannya.
Penggunaan metodologis seperti ini masih tergolong baru dan belum pernah diterapkan. Karena itu, karya yang ditulis oleh Khalafullah sempat menjadi perdebatan dan polemik di kalangan ulama, politisi dan Guru Besar Mesir, terutama bagi anggota tim penguji yang sebelumnya menampakkan ketidaksetujuannya atas gagasan itu. Artinya, sebuah pemikiran baru dipandang berbahaya bagi agama dan merusak keimanan mereka yang melakukannya. Bahkan, polemik tersebut lebih bersifat politis ketimbang mendahulukan pertimbangan ilmiah dan kebenaran agama.
Seperti yang diungkap Khalafullah, bahwa pokok perbedaan yang sebenarnya disebabkan karena kelambanan dan kurangnya pemahaman saja. Penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur’an yang selalu disebut al-Qur’an sebagai al-Haqq (kebenaran) bukanlah seperti yang dipercayai umat Islam umumnya. Karena kata al-Haqq sesungguhnya menjadi kontroversial karena kata tersebut diiringi dengan kata amtsâl (perumpamaan).
Begitu pula dengan pandangan tentang al-matsl juga ditujukan untuk al-qishshah (kisah), karena al-matsl sering dijadikan sebuah kisah, atau sebaliknya sebuah kisah sering dijadikan al-matsl (perumpamaan). Padahal dalam al-Qur’an, penggunaa al-matsl didahului al-dharb (membuat). Hal itu menunjukkan unsur kesengajaan atau frase yang digunakan untuk menceritakan peristiwa tertentu yang serupa dan sama dengan yang dialami.
Menurut hasil intrepretasi dan analisis teks selama ini, Khalafullah berkeyakinan bahwa sepanjang pengetahuannya para penafsir jarang yang mau menyentuh metode pendekatan sastra. Justru mereka mencari alternatif lain yang kurang tepat. Langkah-langkah penafsir dalam menyikapi unsur-unsur sejarah sebuah kisah ini mengakibatkan munculnya fenomena-fenomena penafsiran yang beragam dan menemukan kejanggalan-kejanggalan penafsiran.
Menyikapi hal itu, rekomendasi dari temuanya, Khalafullah menjelaskan tentang beberapa hal yang patut menjadi bahan pemikiran. Pertama, penafsir yang menjadikan sejarah sebagai pendekatan, sering berpanjang-lebar membahas persoalan-persoalan sejarah. Sehingga seolah-olah kisah al-Qur’an tersebut dijadikan tema pokok dan dibahas sebagaimana dilakukan dalam buku sejarah. Kedua, pendekatan yang diyakini penafsir sebagai sebuah cara yang tepat untuk menafsirkan kisah-kisah al-Qur’an membuat mereka fanatik. Dengan pendekatan semacam ini, mereka mengganggap metode pendekatan sastra sangat tidak relevan untuk diterapkan. Ketiga, ketergantungan penafsir kepada pengetahuan sejarah, israiliyat, dan perkiraan analisa, ternyata tidak dapat membantu mereka memecahkan misteri dan menyingkap tabir kisah.
Jika masih menggunakan pendekatan sejarah, maka dikhawatirkan materi kisah dan kebenarannya, seringkali justru membuat penafsir keliru dalam menyikapi kisah-kisah itu. Sebab, kebanyakan materi kisah atau peristiwa yang diceritakan tersebut tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui dari sejarah. Melalui nalar Islam, kisah-kisah sejarah tidak dapat dipahami sebagai sebuah realitas sejarah, kecuali dengan pelbagai macam takwil.
Barangkali pandangan dan pemikiran yang digagas oleh Khalafullah itu dapat menjadi diskusi lebih lanjut oleh para mufassir dan ahli sastra di perguruan tinggi. Untuk mengisi ruang kevakuman selama ini, ada baiknya jika gagasan tersebut mendapat perhatian dari kalangan yang mendalami ilmu tafsir. Dengan begitu diharapkan wacana dan hasil pemikiran semacan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan baru bagi orang yang mendalami ilmu-ilmu al-Qur’an.