Fa’lam: muqaranah dan mujadalah (perbandingan dan debat) adalah tradisi ilmiah yang sudah tumbuh sejak masa awal sejarah manusia. Al-Qur’an telah mendokumentasi tradisi ini hampir pada setiap masa kenabian. Allah SWT berfirman: “Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi orang-orang yang kafir membantah (mendebat) dengan yang bathil, agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak…”(TQS. al-Kahfi [18]: 56). Kisah-kisah mujadalah juga termuat dalam dokumen sejarah, baik yang tercantum dalam sunnah, atsar dan dokumen-dokumen sejarah lainnya. Motif utama dari diskusi dan perbandingan adalah mencari kebenaran tertinggi, sekaligus untuk mengoreksi pendapat-pendapat dan keyakinan-keyakinan yang salah. Dengan diskusi, akan diketahui pendapat siapakah yang paling dekat dengan kebenaran, dan pendapat siapa yang lemah. Bila suatu pendapat telah terbukti lemah dan salah, maka pendapat itu harus ditinggalkan dengan sikap lapang dada, dan penuh keikhlasan.
والله الموفّق للصّواب
INILAH ADAB-ADAB BERDEBAT YANG JADI PEDOMAN KHUSUSNYA SYABAB HT (DITERJEMAHKAN)
Adab Berdebat
Al-Jadal adalah At-Tahâwur (berdiskusi atau berdialog), seperti firman Allah:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar Perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 1)
Dalam ayat ini Allah menyebut al-jadal (berdebat) dengan istilah at-tahâwur (berdiskusi). Definisi al-jadal (berdebat) adalah penyampaian hujjah atau yang diduga sebagai hujjah oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya untuk membela pendapat atau madzhabnya, membatalkan hujjah lawan, dan mengubahnya kepada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.
Berdebat termasuk perkara yang diperintahkan syara’ untuk menetapkan kebenaran dan membatalkan kebatilan. Dalilnya adalah firman Allah Swt:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. Al-Nahl [16]: 125)
"Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar". (QS. Al-Baqarah [2]: 111)
Rasulullah saw. juga telah mendebat kaum Musyrik Makkah, Nasrani Najran, dan Yahudi Madinah. Pengemban dakwah akan senantiasa menyeru kepada kebaikan (Islam), amar makruf nahyi munkar, dan memerangi pemikiran yang sesat. Karena berdebat telah ditentukan sebagai uslub dalam semua aktivitas yang wajib tersebut, maka berdebat menjadi suatu kewajiban pula berdasarkan kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Suatu kewajiban tidak akan bisa dilaksanakan dengan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu yang lain, maka hukum sesuatu yang lain itu pun menjadi wajib.”[1]
Di antara adab dan aturan berdebat yang telah diwasiatkan oleh para ulama -dengan sebagian tambahan– adalah :
Mengedepankan ketakwaan kepada Allah, bermaksud taqarrub kepada-Nya, dan mencari ridha-Nya dengan menjalankan perintah-Nya.
Harus diniatkan untuk memastikan kebenaran sebagai kebenaran dan membatilkan yang batil. Bukan karena ingin mengalahkan, memaksa, dan menang dari lawan. Asy-Syafi’I berkata, “Aku tidak berbicara kepada seorang pun kecuali aku sangat suka jika ia mendapatkan taufik, berkata benar, dan diberi pertolongan. Ia akan mendapatkan pemeliharaan dan penjagaan dari Allah. Aku tidak berbicara kepada seorang pun selamanya kecuali aku tidak memperhatikan apakah Allah menjelaskan kebenaran melalui lisanku atau lisannya.” Ibnu Aqil berkata, “Setiap perdebatan yang tidak bertujuan untuk membela kebenaran maka itu menjadi bencana bagi pelakunya.”
Tidak dimaksudkan untuk mencari kebanggaan, kedudukan, meraih dukungan, berselisih, dan ingin dilihat.
Harus diniatkan untuk memberikan nasihat kepada Allah, agama-Nya, dan kepada lawan debatnya. Karena agama adalah nasihat.
Harus diawali dengan memuji dan bersyukur kepada Allah dan membaca shalawat kepada Rasul-Nya saw.
Harus memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar diberi taufik terhadap perkara yang diridhai-Nya.
Harus berdebat dengan metode yang baik dan dengan pandangan dan kondisi yang baik. Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya petunjuk yang baik, cara yang baik, dan tidak berlebih-lebihan adalah satu bagian dari dua puluh lima bagian kenabian (HR. Ahmad dan Abû Dawud. Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa hadits ini isnadnya hasan).
Dari Ibnu Mas’ud sebagai hadits mawquf ia berkata: “Ketahuilah sesungguhnya sebagus-bagusnya petunjuk di akhir zaman lebih baik daripada sebagian amal. (Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath, sanad hadits ini shahih).
Yang dimaksud dengan petunjuk di sini adalah metodologi. Yang dimaksud dengan as-samtu adalah al-mandzar (pandangan) dan al-haiah (kondisi). Yang dimaksud dengan al-iqtishad adalah ali’tidal
(pertengahan). Singkat dan padat dalam berbicara. Yaitu berbicara sedikit, menyeluruh, dan fasih (sesuai dengan yang dimaksudkan). Terlalu banyak bicara akan mengakibatkan kebosanan. Disamping juga lebih berpeluang menimbulkan kekeliruan, kelemahan, dan kesalahan.
Harus sepakat dengan lawan debatnya terhadap dasar yang menjadi rujukan keduanya. Dengan orang kafir dasar yang dijadikan sebagai rujukan adalah akal semata-mata. Sedangkan jika berdebat dengan seorang muslim, dasar rujukannya adalah akal dan naql. Akal menjadi rujukan pada perkara-perkara yang bersifat rasional. Sedangkan pada perkara-perkara yang bersifat syar’i, naql-lah yang menjadi dasar rujukannya, sebagaimana Firman Allah:
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. (TQS. an-Nisa [4]: 59)
Maksudnya adalah merujuk kepada al-Kitab dan as-Sunah.
Orang kafir tidak boleh didebat dalam perkara cabang syariat. Sebab, ia tidak beriman kepada perkara pokok syariah. Karenanya, hendaknya tidak berdebat dan berdiskusi dengan mereka mengenai pernikahan dengan empat isteri, kesaksian wanita, jizyah, hukum waris, haramnya khamr, dan sebagainya. Berdiskusi dengan orang kafir harus dibatasi pada perkara ushul ad-din (pokok-pokok agama/akidah) yang dalilnya bersifat rasional. Sebab, tujuan dari diskusi adalah memindahkannya dari kebatilan kepada kebenaran, dari kesesatan menuju pada petunjuk. Hal ini tidak bisa diwujudkan kecuali dengan memindahkannya dari kekufuran kepada keimanan. Sebagaimana juga orang Nasrani tidak boleh diajak berdebat tentang kebatilan agama Budha dan Yahudi. Bahkan pembicaraan bersama dengan orang Nasrani tentang hal seperti itu dan yang sejenisnya tidak bisa dipandang sebagai perdebatan. Orang Nasrani bukanlah orang Budha atau Yahudi, sehingga kita bisa membawanya dari pemeluk Budha dan Yahudi menjadi pemeluk Islam. Pembicaraan bersama orang Nasrani harus difokuskan pada akidahnya yang batil untuk memindahkannya kepada Islam. Karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa kita sedang berdialog dengan orang Nasrani pada perkara-perkara yang kita sepakati, dan kita mengabaikan perkara yang tidak kita sepakati. Sebab, kita diperintahkan untuk berdebat dengan mereka. Sedangkan perdebatan tidak akan terjadi kecuali pada perkara yang diperselisihkan. Adapun jika orang Nasrani atau Kapitalis bersepakat dengan seorang Muslim bahwa Budha, Sosialisme, atau Komunisme adalah ajaran yang buruk menurut akal, kemudian keduanya berbicara seputar agama dan ideologi itu, maka pembicaraan tersebut tidak bisa disebut diskusi atau debat. Hal seperti itu juga tidak bisa membebaskan tanggungan seorang Muslim dari kewajiban berdiskusi dan berdebat dengannya hingga mampu memindahkannya kepada Islam.
Demikian juga tidak bisa dikatakan bahwa kita telah berdialog dengan orang kafir dalam perkara yang telah disepakati seraya meninggalkan perkara yang kita perselisihkan hingga hari kiamat. Di hari itulah Allah akan memutuskan dan menetapkan dengan kehendak-Nya di antara kita. Tidak bisa dikatakan demikian, dalam artian menjauhi berdebat dengan mereka. Karena kita diperintahkan untuk berdebat dengan mereka dalam perkara yang diperselisihkan. Jika kita tidak melakukannya, berarti kita termasuk orang yang lalai (dari kewajiban). Memang benar bahwa hukum di dunia dan akhirat adalah milik Allah. Tetapi kita tidak boleh mencampuradukan antara perkara yang merupakan perbuatan Allah dengan perkara yang diwajibkan kepada kita. Perkataan seperti tadi adalah argumentasi orang yang ceroboh dan lalai, bahkan itu merupakan kekacauan orang yang lalai, yang sama sekali tidak memiliki dalil maupun subhat dalil.
Tidak mengeraskan suaranya kecuali sebatas untuk bisa didengar oleh orang yang ada disekitarnya. Juga tidak boleh berteriak di hadapan lawan diskusi. Dikisahkan ada seorang lelaki dari Bani Hasyim yang bernama Abd ash-Shamad berbicara di hadapan Khalifah al-Ma’mun dengan mengeraskan suaranya. Kemudian al-Ma’mun berkata, “Wahai Abd ash-Shamad, janganlah engkau mengeraskan suaramu. Karena sesungguhnya kebenaran terdapat pada yang paling tepat, bukan yang paling keras.” (Al-Khatib dalam al-Faqih wa al-Mutafaqqih).
Tidak boleh merendahkan lawan diskusi dan meremehkan persoalannya.
Harus bersabar atas penyimpangan lawan diskusi, bersikap sabar, dan memaafkan kesalahannya, kecuali orang itu memang pandir. Maka kita harus menjauhkan diri dari berdiskusi dan berdebat dengannya.
Harus menjauhi al-hiddah dan al-dhajjar. Ibnu Sirin berkata, “al-hiddah merupakan kiasan dari kebodohan.” Maksudnya adalah bodoh dalam berdiskusi. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Menjauhi sedikit berfikir lagi terburu-buru (dalam agama) adalah (sikap) terbaik dari umatku.” Dalam hadits ini terdapat Salam bin Muslim ath-Thawil dan dia mathruk. Dan hadits yang telah diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dari ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik umatku adalah orang yang paling bersegera (dalam agama), yang apabila mereka marah akan kembali (dapat mengendalikan diri). Dalam hadits ini terdapat Nu’aim bin Salim bin Qanbar, ia adalah seorang pendusta.
Apabila berdebat dengan orang yang lebih banyak pengetahuannya maka janganlah mengatakan, “Engkau salah,” atau, “Perkataan anda keliru,” melainkan harus mengatakan,“Bagaimana pendapat anda jika ada orang yang mengatakan,” atau, “Ada orang yang mendebat, lalu berkata, ‘…’” Atau membantah dengan menggunakan redaksi orang yang meminta petunjuk, seperti berkata, “Bukankah yang benar itu pernyataan demikian?”
Harus berusaha memikirkan dan memahami perkara yang disampaikan oleh lawan diskusi agar bisa membantahnya. Juga tidak boleh cepat-cepat berbicara sebelum lawan diskusi selesai berbicara. Dari Ibnu Wahab ia berkata; Aku mendengar Malik pernah berkata, “Tidak ada kebaikan pada jawaban sebelum dipahami terlebih dahulu. Bukan termasuk adab yang baik jika seseorang memutuskan pembicaraan lawannya.” Adapun jika lawan diskusi adalah hanya ingin berdebat, keras kepala, banyak membicarakan yang tidak bermanfaat, maka yang menjadi sikap asal adalah tidak berdiskusi dengannya jika hal itu telah diketahui ada pada dirinya. Apabila baru terungkap di tengah-tengah diskusi, maka ia harus menasihatinya. Apabila ia tidak bisa menjaga diri maka putuskanlah pembicaraan.
Hendaknya menghadapkan wajahnya kepada lawan diskusi, dan tidak berpaling kepada orang-orang yang hadir di forum diskusi karena meremehkan lawan diskusinya. Sama saja apakah orang-orang itu berbeda pendapat atau bersepakat dengannya. Jika lawan diskusi melakukan hal itu, maka harus dinasihati. Apabila ia tidak mau menghentikannya, maka hentikanlah diskusi itu.
Tidak boleh berdebat dengan merasa hebat dan takjub terhadap pendapatnya. Sebab, orang yang ujub tidak akan menerima pendapat dari orang lain.
Tidak boleh berdebat di forum-forum yang ditakutkan, seperti berdiskusi di tempat terbuka dan di forum-forum umum. Kecuali jika ia merasa tenteram dengan agamanya, tidak takut karena Allah terhadap caci maki orang yang mencaci, siap menanggung risiko dari pembicaraannya, baik berupa penjara atau bahkan pembunuhan. Juga berdiskusi di tempat pemimpin atau penguasa yang dikhawatirkan akan membahayakan dirinya. Apabila ia tidak bisa meneguhkan dirinya bersama Hamzah (tidak mampu mengatakan hak di hadapan penguasa yang dzalim), maka sikap diam lebih utama. Karena dalam kondisi seperti itu (dikhawatirkan) ia akan meremehkan agama dan ilmu. Dalam kondisi ini, bisa diingat kembali bagaimana sikap para ulama terdahulu semisal Imam Ahmad dan Imam Malik.Juga sikap para ulama masa kini seperti para ulama yang mendebat Muamar Kadzafi ketika mengingkari as-Sunah.
Tidak boleh berdebat dengan orang yang tidak disukai. Baik kebencian ini berasal dari dirinya atau datang dari lawannya.
Tidak boleh bermaksud ingin mengalahkan lawan diskusi dalam forum.
Tidak berpanjang lebar dalam pembicaraan, khususnya pada perkara-perkara yang sudah diketahui lawan diskusi. Melainkan harus berbicara dengan singkat, namun tidak merusak maksud hingga sampai pada topik diskusinya.
Tidak boleh berdiskusi dengan orang yang meremehkan ilmu dan ahlinya, atau di hadapan orang-orang pandir yang meremehkan diskusi dan orang-orang yang sedang berdiskusi. Imam Malik berkata, “Termasuk merendahkan dan meremehkan ilmu jika seseorang membicarakan ilmu di hadapan orang yang tidak mentaati ilmu itu.”
Tidak boleh merasa rendah untuk menerima kebenaran ketika kebenaran itu tampak pada lisan lawannya. Karena sesungguhnya kembali kepada kebenaran lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan. Juga supaya termasuk ke dalam golongan orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling benar.
Tidak boleh mengacaukan jawaban, yakni dengan memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan. Seperti:
Penanya : Apakah Arab Saudi itu Daulah Islam?
Penjawab : Peradilan di sana Islami.
Jawaban ini adalah mughalathah (kacau atau tidak sesuai pertanyaan). Jawaban yang seharusnya adalah mengatakan ya, tidak, atau saya tidak tahu. Jawaban mana pun dari ketiga jawaban
ini termasuk jawaban yang muthabiqah (sesuai pertanyaan).
Tidak mengingkari perkara-perkara penting sehingga menjadi penentangnya. Seperti orang mengingkari permusuhan orang-orang kafir terhadap kaum Muslim. Atau mengingkari bahwa sistem yang diterapkan di negeri-negeri Islam adalah sistem kufur, yakni tidak berhukum dengan Islam.
Tidak mengucapkan kalimat yang global, kemudian setelah itu membantahnya dalam hal yang rinci. Seperti mengatakan di awal pembicaraannya bahwa Amerika adalah musuh bagi Islam dan kaum Muslim, kemudian setelah itu mengatakan bahwa Amerika membantu orang-orang Palestina dalam mendirikan negara mereka dan menentukan nasib mereka sendiri, karena Amerika mencintai keadilan dan kebebasan. Atau mengatakan bahwa Amerika datang ke Irak untuk membebaskan kedzaliman dan kediktatoran.
Tidak menghindarkan diri dari membuang argumentasinya dalam setiap masalah yang cocok dengannya. Seperti memperbolehkan membeli rumah-rumah di Barat dengan riba yang didasarkan pada al-hajah al-khasshah (kebutuhan khusus) yang diturunkan dan dari ad-dharurah al-khashah (darurat khusus), kemudian tidak memperbolehkan kebutuhan-kebutuhan lain seperti makanan, pakaian, dan pernikahan dengan riba. Maka sesungguhnya memperbolehkan suatu kebutuhan berarti telah memubahkan banyak hal yang haram, meskipun tidak menghilangkan argumentasi dan kaidahnya dalam setiap kebutuhan, maka sungguh telah bertentangan.
و الله أعلم بالصواب
حسبنا الله و نعم الوكيل نعم المول و نعم النصير
إنتهى
[1] Lihat: Irsyâd al-Fuhûl, Imam al-Syawkani, An Nabhani, Taqiyuddin, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah, Juz III, hal. 37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar