Oleh: Hafidz Abdurrahman
Negeri kaum Muslim telah menjadi ajang pertarungan kolonial selama lebih dari satu abad. Itu tak lain, karena dunia Islam tidak pernah kekurangan sumberdaya energi yang sangat dibutuhkan bagi industrialisasi. Sayangnya, negeri-negeri Muslim itu memperlihatkan potret yang penuh paradoks, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Indonesia. Negeri yang kaya akan energi ini, ternyata tidak bisa menjamin kelangsungan kebutuhannya akan energi. Pabrik pupuk di Aceh terpaksa gulung tikar karena kekurangan pasokan gas. Listrik byar pet karena PLN tidak mampu memenuhi kebutuhan energi untuk pembangkitnya. Yang terbaru, rakyat harus membayar mahal BBM, yaitu Rp 6.500 per liter.
Kondisi ini tentu tidak hanya berdampak pada pemilik kendaraan tetapi juga kepada rakyat jelata. Ongkos-ongkos akan naik karena kenaikan komponen biaya transportasi. Padahal, energi ini adalah milik mereka, tetapi ironisnya mereka tidak bisa menikmatinya. Dengan alasan pencabutan subsidi BBM, rakyat sebagai pemilik sah, dipaksa memberikan hak miliknya, sementara untuk itu, mereka tidak mendapatkan kompensasi apapun. Tragisnya lagi, mereka masih harus membayar pajak untuk membiayai apa yang disebut sebagai pembangunan, yang tidak pernah mereka rasakan.
Inilah potret yang penuh paradoks. Potret ini sesungguhnya terjadi karena kebijakan yang dipilih terkait dengan pengelolaan energi itu salah. Kesalahan ini terjadi karena penguasa kaum Muslim tidak pernah memikirkan rakyat, kecuali diri, kroni, partai dan kekuasaan mereka sendiri.
Mari kita buktikan, negeri-negeri kaum Muslim mempunyai kekuatan energi yang luar biasa:
Sebanyak 74 persen cadangan minyak dunia, yakni lebih dari setengah cadangan seluruh dunia, jika dikombinasikan, berada dalam tanah kaum Muslim. Dunia Muslim memompa 42 persen dari kebutuhan harian minyak dunia.
Sebanyak 54 persen dari cadangan gas dunia ada di negeri Muslim, dan memompa 30 persen kebutuhan harian gas dunia.
Arab Saudi memiliki ladang minyak Ghawar, yang merupakan ladang minyak terbesar di dunia.
Iran dan Qatar memiliki ladang South Pars North Dome. Yang terletak di Teluk Persia adalah ladang gas terbesar di dunia.
Iran juga memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia setelah Rusia.
Kuwait, negara-kota yang kecil, memiliki 10 persen cadangan minyak dunia.
Pembangkit Shoaiba dan tempat desalinasi adalah kompleks pembangkit Combine Cycle Gas Turbine (CCGT), Desalinasi di Arab Saudi, pembangkit listrik terbesar di dunia berbahan bakar fosil, serta pembangkit air dan listrik terintegrasi ketiga terbesar di dunia.
Kazakhstan adalah produsen uranium terbesar di dunia setelah Australia. Kazakhstan saja memiliki 20 persen uranium dunia.
Pakistan memiliki cadangan batubara terbesar setelah Amerika Serikat. Ladang batubara Thar di Sindh adalah ladang batubara terbesar di dunia.
Pembangkit Brunei Liquefied Natural Gas (BLNG), dibangun pada tahun 1972, adalah ladang gas alam cair terbesar di dunia.
Qatar, Indonesia dan Malaysia adalah negara eksportir gas alam cair (LNG) terbesar dunia.
Ironisnya, walaupun memiliki banyak kelebihan seperti itu, negeri-negeri kaum Muslim memiliki infrastruktur energi yang buruk, di mana banyak rakyatnya hidup tanpa listrik, seperti di pulau-pulau di luar Jawa. Di Arab Saudi dan negara-negara Teluk, dengan infrastruktur energi yang telah maju saja, banyak dari penduduknya yang hidup dalam kemiskinan. Bahkan, di Saudi 50 persen rakyatnya tidak mempunyai rumah. Di Indonesia, lebih dari 30 juta penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.
Meskipun produksi minyak dan konsumsinya akan terus meningkat, selama 30 tahun terakhir, sangat sedikit kilang yang dibangun di seluruh dunia. Wilayah yang memiliki cadangan minyak terbesar (61 persen) dan memompa 31 persen minyak dunia, yakni Timur Tengah, hanya bisa menyuling 8 persen dari jumlah itu; 76 persen minyak dunia disuling di daerah dengan sedikit sumber minyak, tetapi dengan permintaan minyak yang meningkat. Amerika menyuling 20 persen minyak dunia, sementara Eropa menyuling 22 persen minyak dunia dan Timur Jauh 27 persen dari minyak dunia.
Karena itu, meski dunia Islam mempunyai cadangan minyak yang besar, pada dasarnya hal itu tidak ada gunanya karena tidak mampu memproduksi dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan. Karena alasan ini sebagian besar minyak disalurkan untuk Timur Jauh dan Eropa untuk bisa disuling, lalu produknya dijual kembali ke negeri-negeri Muslim. Kondisi ini terjadi karena tidak adanya political will dari para penguasannya untuk mengurusi urusan rakyatnya, serta intervensi asing dalam kebijakan pengelolaan energi.
Negara Khilafah
Minyak dan gas adalah dua komoditas yang paling penting di dunia. Laju industrialisasi bergantung pada tingkat ketersediaan energi. Bahkan pertanian modern bergantung pada gas alam sebagai bahan baku pembuat pupuk. Sumber-sumber itu sangat penting untuk kehidupan masyarakat, yang berarti bahwa keuntungannya harus dinikmati bersama oleh masyarakat dan tidak dapat diprivatisasi.
Kebijakan energi Negara Khilafah harus diadopsi dengan memperhatikan realitas sebagai berikut:
Karena energi adalah penting untuk industrialisasi, maka kebijakan energi Negara Khilafah harus dilihat dan dianalisis lebih dalam.
Karena energi dibutuhkan untuk berbagai tugas, maka Negara Khilafah perlu membangun infrastruktur energi modern.
Minyak dan gas bumi harus dialokasikan untuk pemakaian yang penting seperti bahan mentah untuk industri manufaktur, pertanian dan petrokimia, karena sampai saat ini tidak ada alternatif untuk bahan-bahan itu.
Minyak dan gas bumi juga harus digunakan untuk transportasi dan penghasil energi karena teknologi saat ini, utamanya dijalankan dengan sumber energi itu. Meski alternatif lain harus tetap dicari. Ini akan membantu pemanfaatan yang berkelanjutan atas sumberdaya Negara Khilafah, yang memungkinkan fleksibilitas dalam penjualan minyak menghasilkan pendapatan, dan sebagai bantuan untuk membantu membawa negara-negara lain lebih dekat ke dalam pangkuan Islam.
Selain itu, hal yang paling mendasar adalah bahwa energi ini merupakan hak umum (public ownership), sehingga tidak boleh diprivatisasi. Sebaliknya, Negara Khilafah harus bisa menjamin kebutuhan rakyat akan energi ini dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan negara. Karena itu, pengelolaan energi harus diintegrasikan dengan kebijakan negara di bidang industri dan bahan baku sehingga masing-masing tidak berjalan sendiri-sendiri.
Untuk memenuhi konsumsi kebutuhan domestik rakyatnya, Negara Khilafah bisa menempuh dua kebijakan: Pertama, mendistribusikan minyak, gas dan energi lainnya kepada rakyat dengan harga murah. Kedua, mengambil keuntungan dari pengelolaan energi untuk menjamin kebutuhan rakyat yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan termasuk terpenuhinya sandang, papan dan pangan.
Dengan begitu, Negara Khilafah benar-benar akan bisa mengelola energinya secara mandiri dan tidak diintervensi oleh negara manapun. Jika itu terjadi, maka hasil dari pengelolaan energi itu bukan hanya akan membawa kemakmuran bagi rakyatnya tetapi juga menjadi kekuatan bagi negara. Negara bukan saja mengalami swasembada energi tetapi juga bisa menjadikan energinya sebagai kekuatan diplomasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Rusia terhadap Uni Eropa dan AS.
Untuk itu, Negara Khilafah sejak pertama kali berdiri segera melakukan pengembangan infrastruktur energi yang diperlukan untuk menjamin kebutuhannya dan memastikan agar energi tersebut tidak keluar dari negara dan jatuh ke tangan negara-negara penjajah.
Selain itu, pengembangan infrastruktur ini kenyataannya akan menciptakan berjuta-juta lapangan pekerjaan yang akan mengangkat berjuta-juta orang keluar dari kemiskinan di dunia Muslim. Pada gilirannya pengembangan energi akan memberikan efek luar biasa dengan merangsang ekonomi yang lebih luas melalui pengembangan industri berat, kompleks-kompleks manufaktur, industri-industri militer, industri-industri penyulingan dan pabrik-pabrik.
sumber:
Komunitas rindu khilafah dan syariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar