ilustrasiLatar Belakang Munculnya Strategi Deradikalisasi (Menguak Target dan Tujuan Yang Sebenarnya)
Oleh Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra-Terorisme & Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI)
***
Dalam sebuah dialog (tertutup) antara ketua Tim Perburuan (Densus88) “Teroris” di Aceh beberapa bulan yang lalu (2010) dengan seorang koleganya (Mayor Laut (P) Salim, Anggota Dewan Penasehat Harian TANDEF), terdiskripsi jawaban apa yang bisa mencegah berkembangnya teroris di Indonesia. Ketua Tim dengan tegas menjawab; Program deradikalisasi itu yang perlu diteruskan oleh Pemerintah. Baca bukunya Kombes. Pol. Dr. Drs. Petrus Golose, MM. tentang deradikalisasi dan bukunya Kombes. Pol. Tito Karnavian MM. tentang Poso di situ tergambar jelas dan gamblang tentang terorisme di Indonesia dan upaya-upaya penanggulangannya. Ketika pertanyaan dilanjutkan, apakah kita harus memiliki semacam kebijakan politik yang bersifat Counter Terrorism itu? Mendapatkan jawaban; Counter terrorism itu hanya di gunakan untuk unit-unit taktikal, tidak tepat kalau digunakan untuk kebijakan politik. Kemudian ditimpali soal, lalu apa dong istilahnya untuk kebijakan politik? Jawabnya; Menangkal terorisme dengan soft approach. (tandef.net)
Latar belakang munculnya strategi deradikalisasi
Maka saya rasa penting untuk memahami peta yang sesungguhnya dari stretegi yang akhir-akhir ini secara sistemik di operasikan oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), apa yang menjadi latar belakang dari strategi deradikalisasi dan apa yang sebenarnya menjadi target dari strategi ini. Sejauh kajian saya; Deradikalisasi adalah bagian dari strategi kontra terorisme. Pendekatan hard measure, belum dianggap bisa mereduksi dan menghabisi seluruh potensi yang mengarah ke tindakan ”terorisme”. Bahkan dianggap belum efektif menyentuh akar persoalan terorisme secara komprehensif. Begitu juga ketika strategi Law Enforcement dirasa kurang memberikan efek jera dan belum bisa menjangkau ke akar radikalisme. Sekalipun diakui cukup efektif untuk “disruption” tapi tidak efektif untuk pencegahan dan rehabilitasi sehingga masalah terorisme terus berlanjut dan berkembang. Deradikalisasi dan kontra-radikalisasi yang integratif pada konteks ini adalah sebagai upaya baik dalam bentuk langkah strategis maupun taktis untuk memotong seluruh variabel yang dipandang sebagai stimulan lahirnya tindakan ”terorisme” baik pra maupun pasca (terkait pembinaan terhadap narapidana dan mantan combatan). Maka program ini lebih banyak berbentuk ”soft approach”, baik kepada masyarakat secara luas, kelompok tertentu maupun kepada individu-individu tertentu yang masuk dalam jejaring kelompok yang dicap ”radikal”, ”teroris” dan semacamnya. Dan langkah ini diupayakan mendapat pijakan hukum dengan mempropagandakan ini bagian dari WOT (War On Terrorism).
Dan catatan penting yang tidak boleh dilupakan; sebagian orang tidak sadar telah bersikap apologis terhadap istilah dan terminologi ”terorisme” yang dijajakan Barat di dunia Islam dan di ekspos secara masif oleh media. Sebuah istilah yang menjadikan Islam Ideologi dan pemeluknya sebagai ”tersangka” atas tindakan beberapa individu atau sebagian orang yang menggunakan jalan kekerasan untuk meraih kepentinganya. Tanpa lagi mengkritisi kemungkinan drama ”terorisme” adalah pabrikasi dengan melibatkan intelijen asing. Di sini terlihat ada usaha pengalihan perhatian umat terhadap AS sebagai biang kerok lahirnya instabilitas sosial politik ekonomi didunia Islam termasuk Indonesia. Kemudian secara manipulatif AS memaksa kepada para penguasa dunia Islam untuk memberangus setiap potensi yang dapat mengancam dan membongkar kedok imperialisme-nya. Maka yang dimaksud deradikalisasi di Indonesia jika melihat obyek sasaranya, jelas telah menempatkan gerakan-gerakan Islam yang menginginkan tegaknya syariat Islam secara kafah dalam bingkai negara sebagai bidikan. Awalnya pendekatan pisik semata (hard power) di fokuskan kepada kelompok-kelompok Jihadis, tapi dianggap tidak menyelesaikan suatu gerakan ideologis.
Dan pengemban strategi ini telah belajar dari pengalaman Indonesia selama lebih dari 50 tahun menangani DI/NII telah membuktikan bahwa hard power approach bukan jawaban tepat. Asumsinya selama idologi radikal mereka tidak bisa dinetralisir, selama itu pula mereka terus melakukan aksi. Diambillah kasus situasi di Afghanistan dan Irak, oleh karena itu dalam deradikalisasi ada upaya menggeser kepada obyek sasaran lebih luas,yaitu kepada pihak yang dianggap pengusung ideologi radikal-fundamentalis. Yang diposisikan sebagai eksploitator terhadap faktor dan realitas ketimpangan sosial politik dalam konteks global maupun lokal Indonesia. Maka tampak, yang diinginkan dari proyek deradikalisasi adalah menyumbat pertumbuhan Islam ideologi yang dipandang membahayakan status quo yang sekuler.
Indonesia dan GWOT (Global War On Terrorism)
Padahal ada hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa drama War on Terrorism dan semua derivat strateginya di Indonesia tidak terjadi secara masif kecuali pasca peristiwa WTC (World Trade Center) 9/11/2001. Dari beberapa dokumen, terungkap dukungan dana mengucur deras ratusan juta dolar dan lebih dari 500 juta euro untuk proyek long term dari negara Eropa (Australia, Denmark, Belanda, dll) diberikan kepada kepolisian RI (Densus88), dan langkah peningkatan capacity building terhadap aparat kepolisian dan Intelijen Indonesia juga berjalan secara simultan. AS sendiri melalui Obama menyiapkan lebih dari 5 miliar dolar, untuk membuat program kerjasama keamanan bersama untuk menempa badan intelijen internasional dan infrastruktur penyelenggaraan hukum demi melumpuhkan jaringan teroris dari pulau-pulau terpencil di Indonesia, hingga ke kota-kota yang membujur di Afrika. Bocoran wikileaks mengkonfirmasi bagaimana hubungan AS dan sekutunya dengan pemerintah Indonesia dalam isu terorisme. Bocoran dokumen oleh Wikileaks yang dimuat di harian Australia The Age (17/12/2010), para diplomat Amerika di Jakarta meminta keinginan pemerintahan SBY dikabulkan oleh Washington. Mereka yakin bila hubungan dengan Kopassus telah baik dan pelatihan dimulai kembali maka pemerintahan SBY dan militer akan melindungi kepentingan Amerika Serikat di kawasan, termasuk kerjasama memerangi terorisme.
Bahkan, Australia memberikan dukungan kepada SBY di Pilpres 2009. SBY didukung karena dinilai sukses dalam kerjasama antiterorisme. Di salah satu bocoran WikiLeaks yang dimuat oleh harian Sydney Morning Herald, 15/12/2010.Pejabat Kementerian Luar Negeri Australia untuk Urusan Asia Tenggara, Peter Woolcott, mengatakan; Yudhoyono telah memberikan kerjasama kelas satu dalam anti terorisme.
Bahkan, Indonesia secara intens juga segaris dengan kebijakan PBB dalam proyek kontra terorisme sejak awal. Seperti yang diungkap melalui Deplu-RI; Di tingkat multilateral, Indonesia terus meningkatkan kerjasama di bawah kerangka PBB, khususnya dengan TPB-UNODC dan UN-Counter-Terrorism Committee Executive Directorate (UNCTED) dalam mencegah dan memberantas terorisme, antara lain dalam bentuk penyelenggaraan lokakarya, intelligence sharing, capacity building, pengiriman pakar dan pemberian advis, termasuk dalam rangka persiapan ratifikasi konvensi-konvensi internasional dan penyusunan legislasi nasional terkait pencegahan dan pemberantasan terorisme. Bantuan yang diberikan PBB diberikan dalam rangka implementasi ketentuan mengenai masalah pendanaan terorisme dalam resolusi DK PBB no. 1267 dan no. 1373. Indonesia terus memanfaatkan peluang kerjasama dibawah kerangka UN Global Counter-Terrorism Strategy (UNGCTS) melalui kerjasama dengan UN Counter Terrorism Implementation Task Force (CTITF). Pemerintah memandang pentingnya untuk memberikan perhatian pada implementasi UNGCTS mengingat strategi sudah merupakan kesepakatan bersama seluruh negara anggota PBB, dan strategi memuat komitmen seluruh negara untuk memerangi terorisme secara efektif, tidak hanya dengan langkah-langkah politik, operasional, dan hukum tetapi juga langkah-langkah untuk mengatasi kondisi-kondisi yang bisa menumbuhkan terorisme. Dalam rangka implementasi strategi global, Pemerintah telah mendukung berbagai upaya untuk meningkatkan pemahaman terhadap UNGCTS, termasuk melalui penyelenggaraan beberapa kegiatan.
Indonesia menunjukkan komitmen melaksanakan ketentuan hukum internasional mengenai pemberantasan terorisme dan sejauh ini telah meratifikasi 7 dari 16 instrumen internasional terkait terorisme. Langkah Indonesia untuk menandatangani dan meratifikasi beberapa konvensi internasional tersebut juga merupakan bagian dari tindak lanjut implementasi Resolusi DK-PBB 1373, yang antara lain meminta seluruh negara anggota PBB untuk menandatangani dan meratifikasi konvensi-konvensi internasional mengenai pemberantasan terorisme. Dari 16 instrumen international terkait penanggulangan terorisme, Indonesia merupakan pihak pada 7 instrumen, sebagai berikut:
1963 Convention on Offences and Certain other Act Committed on Board Aircraft;
1970 Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft;
1971 Convention for the Suppression of Unlawful Acts against Safety of Civil Aviation;
1980 Convention on the Physical Protection of Nuclear Material;
1999 International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism;
1997 International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings;
Amendment to the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (CPPNM).
Indonesia telah menandatangani 1988 Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Aviation (1988).
Terkait dengan kewajiban menyerahkan laporan mengenai langkah-langkah pemberantasan terorisme sesuai amanat Resolusi DK PBB 1373, Indonesia telah memberikan kepada Counter Terrorism Committee (CTC) laporan I (21 Desember 2001), laporan II (21 Juni 2002), laporan III (30 Januari 2003), Laporan IV (12 Januari 2004), dan Laporan V (5 Mei 2006). Selain Resolusi 1373, Indonesia telah melakukan upaya-upaya untuk memenuhi amanat Resolusi 1267 terkait Consolidated List, yaitu meliputi pembekuan aset, larangan menerima kedatangan dan embargo senjata terhadap individu-individu, entitas dan organisasi yang memiliki hubungan dengan kelompok Taliban, Osama bin Laden atau jaringan teroris Al-Qaida.
So, wabil khusus bagi AS sendiri tidak menginginkan tumbuh suburnya kelompok yang dianggap radikal, terungkap dalam laporan terbaru yang berjudul "Sharia a Danger to US, Security Pros Say", sebuah panel ahli keamanan nasional Amerika Serikat memberikan rekomendasi radikal kepada pemerintahan Obama bahwa syariah Islam adalah ancaman bagi negara tersebut. Dan sangat pentingnya keamanan AS dan peradaban Barat untuk mendukung tokoh dan kelompok Islam moderat. Intinya AS harus mendukung dan menumbuhkan moderatisasi dalam kehidupan muslim Indonesia. Dan menolak tegaknya Syariat Islam dalam bingkai State.
Ini indikasi dan benang merah yang cukup untuk menjelaskan bahwa proyek deradikalisasi dan kontra radikalisasi adalah bagian dari strategi WOT di mana arahan dan paradigma Barat (AS) menjadi basis implementasinya. Dan ini klop dengan sistem sekuler yang dijaga siang dan malam keberlangsungannya oleh para penguasa yang mengekor kepada kepentingan Barat, dengan mendapat imbalan pujian dan kemaslahatan sesaat.
Siapa Yang terlibat dalam strategi ini?
Sebenarnya kalangan akademisi, aktifis mahasiswa dan komponen lain juga dilibatkan. Tapi saat ini mereka melihat betapa strategisnya peran Ulama (contoh agenda yang menjadi kerja bareng BNPT dengan MUI: Halqoh Nasional Penanggulangan Terorisme, di 6 kota Indonesia) dan masalah ini kata kuncinya adalah; ideologi radikal dianggap sumber terorisme dan kekerasan. Dan cara untuk melenyapkan ideologi radikal, status quo menggunakan pola orde baru. Penguasa mengkooptasi para ulama melalui multi pendekatan, setelah satu arus dengan paradigma penguasa maka berikutnya para ulama bisa menjadi khutoba’ (penyeru/corong) kepentingan penguasa. Masyarakat Indonesia mayoritas karakteristiknya paternalistik, maka pendekatan dengan melibatkan para ulama dirasa paling efektif untuk mengintroduksikan mafhum ala status quo kepada masyarakat luas. Yang diharapkan adalah munculnya imunitas pada diri masyarakat terhadap pemahaman-pemahaman yang di anggap radikal-fundamentalis. Pada akhirnya masyarakat bisa sedemikian kuat bersikap resisten dan mengalenasi pemahaman dan kelompok ”radikal”. Sekalipun para ulama yang include dengan ”proyek” seperti ini tidak selalu mendapat tempat dihati masyarakat apalagi dikalangan aktifis gerakan Islam. Tapi dengan dibantu ”mindsite control” melalui media massa dan elektronik oleh pihak penguasa maka impactnya akan cukup besar. Bisa jadi akhirnya umat dalam posisi terbelah dan berhadap-hadapan secara diametrikal, antara bersama arus sekulerisme yang dibungkus dengan bahasa-bahasa efuisme kekufuran oleh para khutoba’ dengan pemahaman yang lurus terhadap Islam yang diusung oleh umat yang ideologis.
Target Lebih dari Deradikalisasi
Jika pelibatan ulama berhasil meraih targetnya, bisa jadi akan di manej oleh status quo untuk masuk di plan berikutnya. Diraihnya ”stempel” atau ”dukungan” dari masyarakat yang dimediasi oleh para ”khutoba” akan melegitimasi tindakan yang berpotensi lebih represif, baik dengan atau tanpa regulasi (UU) yang memayunginya. Keberhasilan dalam pengarusutamaan Islam moderat akan menempatkan Islam ideologi pada kutub yang berlawanan, lebih tepatnya sebagai musuh. Tentu dalam kontek dakwah, perjuangan penegakkan syariah akan sedikit menempuh jalan terjal, penuh onak dan duri. Tapi sikon seperti itu pula yang akan mengkritalkan perjuangan menuju titik kulminasi kemenangan dan dukungan dari orang-orang mukhlis yang memiliki power. Jangan lupa, laju dakwah dan perjuangan tidak pernah berhenti karena konspirasi dari orang-orang munafik yang menjadi kaki tangan kafir Barat. Karena mereka itu ibarat batu yang salah tempat, seharusnya dia menjadi bagian dari bahan-bahan benteng yang melindungi dan membela Islam dan kaum muslimin bukan menjadi batu sandungan bagi penegakkan Islam.
Potensi Pelanggaran dari dua macam strategi kontra terorisme
Sejauh catatan saya, pelanggaran itu banyak terjadi di langkah hard power dari proyek kontra-terorisme. Tercatat sejak tahun 2002-2010 aparat menembak tewas lebih dari 40 orang dan menangkap lebih dari 564 orang dihimpun dari berbagai operasi: Palu 2003, Semarang 2003, Malang 2005, Sukoharjo dan Yogyakarta 2007, Palembang 2008, Cilacap dan Jatiasih 2009, Aceh, Medan dan Solo 2010, dan melahirkan ratusan ”janda” (suami tewas/tahanan). Seperti juga yang di ungkap Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) dalam laporan akhir tahunan (2010), adanya fakta pelanggaran serius seperti: extra judicial killing, penetapan DPO tanpa prosedur pengadilan, salah tangkap, salah grebek, dan penyiksaan ketika introgasi, dan salah opini. Bahkan kekerasan/terorisme simbolis terjadi terhadap keluarga korban (tersangka), asas praduga tidak bersalah juga dilanggar. Saya punya catatan (data) tentang hal tersebut berangkat dari investigasi kasus Medan dan interview lainya. Tapi anehnya Barat membisu, para penggiat HAM terlihat watak aslinya; bosa-basi menyikapi hal tersebut. HRW (Human Right Wacth) di Washington pernah kontak saya untuk mencoba menggali pelanggaran-pelanggaran HAM serius oleh aparat Densus88, tapi juga belum ada tindak lanjut yang signifikan. Malah mempersoalkan Perda (Qonun) yang ada di Aceh, yang dianggap bertentangan dengan HAM karena menerapkan hukum syariah.
Sementara dalam deradikalisasi, ada potensi penyimpangan dan tafsiran-tafsiran yang menyesatkan terhadap nash-nash syara’. Membangun pemahaman yang tidak kokoh konstruksi dalil dan argumentasi (hujah)-nya.Upaya menselaraskan nash-nash syara’ terhadap realitas sekuler, dan memaksakan dalil mengikuti konteks aktualnya. Contoh upaya tahrif (penyimpangan) pada makna jihad, toleransi, syuro dan demokrasi, hijrah, thagut, muslim dan kafir, ummatan washat, klaim kebenaran, doktrin konspirasi (QS. Al Baqarah [2] : 217) dan upaya mengkriminalisasi istilah ”daulah Islam”, Khilafah.
Seharusnya Yang kita lakukan?
Dan sikap kongkrit kita adalah berusaha berbicara baik-baik kepada pihak pemangku kebijakan dalam persoalan ini. Untuk amar makruf nahi munkar, jika mereka membuka diri tentu kita dengan senang hati mendialogkan duduk persoalan dari drama ”WOT” ini. Agar para penguasa negeri Islam termasuk Indonesia tidak menjadi follower dari kebijakan radikal dan ektrimis negara Amerika dengan bendera GWOT menebar kedzaliman. Disamping itu langkah penting lainya adalah membongkar persekongkolan jahat dalam isu ini di hadapan umat secara masif, agar mereka sadar dan tidak terseret arus mainstream Barat.
Akankah proyek deradikalisasi sukses?
Ini tergantung daya dorong mereka para pengusung proyek tersebut, dan juga kondisi aktual umat Islam yang menjadi obyek dari proyek ini. Sekalipun ada anggaran unlimitide serta banyak person, institusi dan kelompok opurtunis bisa dibeli untuk proyek ini, saya rasa akan tetap menghadapi kendala serius. Karena drama kontra-terorisme terlanjur menjatuhkan kepercayaan umat kepada pihak penguasa dan aparat penegak hukumnya pada titik nadzir. Teori konspirasi banyak menemukan relefansinya, dan umat mulai cerdas mengeja itu semua. Ketidakadilan dan ketimpangan hukum juga terjadi bagi orang-orang yang disangka teroris, ini berbeda perlakuan jika berhadapan dengan para bajingan dan perampok uang rakyat (koruptor). Tanpa sadar, penguasa telah menggali kuburnya sendiri melalui aparatnya dan menjadi pemicu serta sumber siklus ”kekerasan” yang tak berujung. Mereka seharusnya sadar diri, tidak ambigu berkedok dengan demokrasinya tapi solusi-solusi yang ditempuh sama sekali tidak demokratis; main bunuh, main tangkap, main grebek, dan main opini seenak perutnya.
Catatan khotimah
Respon terhadap perkara ini harus menjadi bagian (bukan segalanya) dari agenda dakwah kita semua dalam fase sekarang. Karena ini moment bagus untuk menjelaskan peta hubungan Barat-Dunia Islam, AS-Indonesia, dan membuka kedok kejahatan AS atas dunia Islam yang difasilitasi oleh para penguasa komprador. Dan perkara ini juga harus menjadi pendorong agar para pengusung Islam Ideologi lebih semangat pantang menyerah, dan menjadikan konspirasi-konspirasi jahat tidak lebih sebagai batu sandungan yang akan mengkristalkan iman dan kemenangan.
Karena sesungguhnya jika ada pihak yang takut terhadap perjuangan syariat Islam dan Daulah Islam (Khilafah al minhaj an nubuwah) itu tidak beralasan. Syariat mungkin benar berbahaya, tapi berbahaya itu bagi negara Imperialis karena seluruh kejahatan dan penjajahanya akan dibungkam dengan tegaknya Khilafah yang menegakkan syariah kaffah. Berbahaya itu bagi para penguasa negeri Islam yang menghamba kepada thagut sekulerisme dan penguasa Barat, ketika syariat tegak seluruh kepentingan dan kemaslahatan pribadinya akan musnah. Intinya yang merasa syariah dan Khilafah berbahaya adalah para penjahat dengan segala jenis dan bentuknya. Islam itu ketika tegak, bukan hukum rimba yang berlaku. Tapi hukum Allah SWT yang bisa menjamin keadilan bagi siapapun sekalipun orang-orang kafir selama mereka bernaung dibawah Khilafah Islamiyah.
Yang berbahaya adalah imperialisme Barat di negeri Indonesia atas nama GWOT, HAM, Demokrasi, Pasar bebas, dan perubahan iklim. Dan yang berbahaya saat ini juga adalah tegaknya tatanan sistem sekuler dan demokrasinya serta tidak ditegakkannya sistem Islam. Bahaya yang ditimbulkan adalah dunia akhirat. Dengan demokrasi dan sekulerisme menghantarkan ummat Islam dalam kehidupan yang sempit dalam seluruh aspeknya. Jauh dari kebahagiaan lahir batin, dan jatuh dalam peradaban materialisme dan kerusakan moral yang luar biasa. Dan yang paling dasyat adalah kembali di hadapan Allah SWT termasuk golongan orang-orang yang merugi. Wallahu a’lam bisshowab.
http://globalmuslimcommunity.blogspot.com/2011/01/latar-belakang-munculnya-strategi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar